Kamis, 23 Maret 2017

Kendaraan Hilang dicuri, Kendaraan Kredit Hilang, Aturan Complain Kendaraan Kredit Hilang

Lembaga Bantuan Hukum, LBH Manado Sulawesi Justice, Lembaga Bantuan Hukum Gratis, Lembaga Bantuan Hukum Perceraian, Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Yayasan Bantuan Hukum Indonesia, Pengertian Lembaga Bantuan Hukum, Tujuan Lembaga Bantuan Hukum, Tugas Lembaga Bantuan Hukum, Alamat Lembaga Bantuan Hukum,  Pengertian Lembaga bantuan Hukum,  Lembaga Bantuan Hukum Manado, Lembaga Bantuan Hukum Bitung, Lembaga Bantuan Hukum Bitung, Lembaga Bantuan Hukum Minasaha Utara, Lembaga Bantuan Hukum, Kotamobagu, Lembaga Bantuan Hukum Gorontalo, Lembaga Bantuan Hukum Tenaga Kerja, Lembaga Bantuan Hukum Konsumen, Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum, Lembaga Bantuan Hukum Tomohon, Lembaga Bantuan Hukum Tondano, Lembaga Bantuan Hukum Amurang, Lembaga Bantuan Hukum Sitaro, Lembaga Bantuan Hukum Sanger, Lembaga Bantuan Hukum Talaud,



Penyelesaian Hukum Kasus Mobil Cicilan yang Hilang
Saya membeli sebuah mobil dengan cara mencicil pembayarannya menggunakan suatu perusahaan pembiayaan. Setelah berjalan 5 (lima) bulan ternyata mobil tersebut hilang dan kehilangan tersebut sudah saya laporkan ke kantor polisi. Tetapi sampai dengan saat ini kurang lebih 6 (enam) bulan mobil tersebut belum dapat ditemukan. Ketika saya membaca dalam perjanjian pembiayaan tersebut disebutkan bahwa apabila debitur wanprestasi maka mobil sebagai jaminan tersebut dapat ditarik oleh kreditur. Karena mobil tersebut sebagai jaminannya itu telah hilang, maka tidak ada jaminan yang bisa diambil oleh kreditur dan tidak disebutkan dalam perjanjian itu untuk membayar ganti rugi apabila debitur melakukan wanprestasi. Apakah dalam kasus ini dapat dijerat dengan pidana? Karena melihat dari kasus ini adalah kasus perdata.  
Jawaban :
Sebelum menjawab pertanyaan Anda, ada baiknya saya memberitahu terlebih dahulu mengenai perjanjian menurut undang-undang. Berkaitan dengan perjanjian, hal ini diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata(“KUH Perdata”). Suatu perjanjian harus memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi oleh 4 (empat) syarat yaitu :
1.      Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
2.      Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3.      Suatu pokok persoalan tertentu;
4.      Suatu sebab yang tidak terlarang.
Perjanjian dianggap sah dan mengikat secara penuh bagi para pihak yang membuatnya sejauh tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku, tidak melanggar kesusilaan dan ketertiban umum. Jadi dalam hal ini dapat dikatakan perjanjian merupakan “undang-undang” bagi setiap pihak yang mengikatkan dirinya kepada perjanjian tersebut. Perlu diketahui juga bahwa perjanjian bersifat memaksa. Kata “memaksa” di sini berarti setiap orang yang mengikatkan dirinya pada suatu perjanjian wajib menjalankan seluruh isi perjanjian.
Mengenai perikatan, yaitu suatu hubungan hukum antara pihak yang satu dengan pihak yang lain, memberi hak pada yang satu untuk menuntut sesuatu barang dari pihak yang lain, sedangkan pihak yang satunya diwajibkan memenuhi tuntutan itu. Pihak yang berhak menuntut dinamakan pihak yang berpiutang atau kreditur, sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan dinamakan pihak yang berutang atau debitur. Adapun barang sesuatu yang dapat dituntut itu dinamakan “prestasi”, yang menurut  Pasal 1234 KUH Perdata dapat berupa :
1.      Menyerahkan suatu barang;
2.      Melakukan suatu perbuatan;
3.      Tidak melakukan suatu perbuatan.
Mengenai sumber-sumber suatu perikatan bahwa perikatan dapat lahir dari suatu perjanjian atau dari undang-undang. Berarti sudah jelas di sini bahwa telah terjadi perikatan antara Anda dan pihak yang menjual mobil. Anda katakan di atas bahwa setelah berjalan 5 (lima) bulan Anda mencicil mobil ternyata mobil tersebut hilang.
Jadi sebenarnya menurut undang-undang,  perikatan antara Anda dan pihak penjual mobil telah hapus karena mobil yang Anda beli telah hilang di luar kesalahan Anda. Lebih jelas lagi, Pasal 1381 KUH Perdata yang mengatur tentang hapusnya perikatan, mengatur bahwa:
“Perikatan hapus karena pembayaran; karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan; karena pembaharuan hutang; karena perjumpaan utang atau kompensasi; karena percampuran utang; karena pembebasan utang; karena musnahnya barang yang terhutang; karena kebatalan atau pembatalan; karena berlakunya suatu syarat pembatalan, yang diatur dalam Bab I buku ini; dank arena lewat waktu, yang akan diatur dalam suatu bab sendiri.”
Mengenai, musnahnya barang yang terutang menurut Pasal 1444 KUH Perdata, yaitu:
Jika barang tertentu yang menjadi pokok persetujuan musnah, tak dapat diperdagangkan, atau hilang hingga tak diketahui sama sekali apakah barang itu masih ada atau tidak, maka hapuslah perikatannya, asal barang itu musnah atau hilang di luar kesalahan debitur dan sebelum ia lalai menyerahkannya. Bahkan meskipun debitur lalai menyerahkan suatu barang, yang sebelumnya tidak ditanggung terhadap kejadian-kejadian yang tak terduga, perikatan tetap hapus jika barang itu akan musnah juga dengan cara yang sama ditangan kreditur, seandainya barang tersebut sudah diserahkan kepadanya. Debitur diwajibkan membuktikan kejadian tak terduga yang dikemukakannya. Dengan cara bagaimanapun suatu barang hilang atau musnah, orang yang mengambil barang itu sekali-kali tidak bebas dan kewajiban untuk mengganti harga.”
Terkait dengan permasalahan yang anda hadapi ini, jika berkaca pada ketentuan hukum yang berlaku dalam KUH Perdata,  jika terjadi kehilangan terhadap barang yang terutang yang dilakukan dengan tidak sengaja oleh debitur, maka debitur tidak diwajibkan untuk menyelesaikan pembayaran terhadap cicilan barang tersebut.
Namun, jika dilihat dari segi keadilan akan sangat merugikan pihak Kreditur karena ia tidak akan mendapatkan apa-apa dari hilangnya barang tersebut, sehingga saat ini telah berkembang pemikiran untuk mengasuransikan risiko kerugian melalui perusahaan Asuransi. Perusahaan Asuransi yang nantinya akan melakukan penanggungan risiko atas kejadian-kejadian yang diperjanjikan untuk ditanggung.
Sehingga tidak heran kalau kita disodorkan untuk membayar biaya asuransi oleh pihak Kreditur ketika pertama kali mengambil kredit kendaraan. Dengan hal ini, maka jika terjadi kehilangan suatu hari (asalkan diperjanjikan dalam perjanjian asuransinya), maka Pihak Asuransi akan membayarkan kepada Kreditur sejumlah biaya yang ditanggung, dan Kreditur nantinya bahkan mungkin bisa menggantikan kendaraan yang diambil debitur dengan kendaraan baru.
Dalam hal ini,  Anda telah melakukan tindakan yang benar karena telah melaporkan kehilangkan mobil tersebut ke polisi. Bukti laporan polisi tersebut dapat Anda berikan kepada kreditur (pihak yang menjual mobil) sebagai bukti bahwa mobil yang Anda cicil telah hilang bukan karena kesalahan yang dilakukan oleh Anda melainkan dicuri oleh orang lain.
Di dalam undang-undang pun diwajibkan debitur membuktikan kejadian tak terduga yang dialami oleh debitur kepada kreditur. Kasus ini tidak dapat dibawa ke ranah hukum pidana karena dalam kasus ini murni mengenai perikatan, perjanjian dan musnahnya barang yang terhutang berarti masuk dalam ranah hukum perdata. Tetapi, dapat saya tambahkan bahwa untuk masalah kehilangan mobil tersebut biarkan pihak kepolisian yang akan melanjutkan proses penyidikan atas dasar laporan polisi yang pernah Anda buat.
Demikian jawaban dari saya kiranya dapat dipahami. Semoga dengan informasi yang telah disampaikan di atas Anda dapat mengambil keputusan dengan bijak.

LEMBAGA BANTUAN HUKUM SULAWESI JUTICE HALLO_HUKUM.
No telp Ketua LBH                                         : 0812 4222 6581, 082187279009.
No Telp Posko Minahasa Tenggara               : 0852 5672 2098, 0813 5453 3050,
No Telp Posko Kota Bitung                            : 0823 4730 3345
No telp Posko Kota Makassar                       : 0811 4626 698

Hukuman bagi jaminan Fidusia Belum Didaftarkan, Fidusia tidak Didaftarkan

Lembaga Bantuan Hukum, LBH Manado Sulawesi Justice, Lembaga Bantuan Hukum Gratis, Lembaga Bantuan Hukum Perceraian, Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Yayasan Bantuan Hukum Indonesia, Pengertian Lembaga Bantuan Hukum, Tujuan Lembaga Bantuan Hukum, Tugas Lembaga Bantuan Hukum, Alamat Lembaga Bantuan Hukum,  Pengertian Lembaga bantuan Hukum,  Lembaga Bantuan Hukum Manado, Lembaga Bantuan Hukum Bitung, Lembaga Bantuan Hukum Bitung, Lembaga Bantuan Hukum Minasaha Utara, Lembaga Bantuan Hukum, Kotamobagu, Lembaga Bantuan Hukum Gorontalo, Lembaga Bantuan Hukum Tenaga Kerja, Lembaga Bantuan Hukum Konsumen, Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum, Lembaga Bantuan Hukum Tomohon, Lembaga Bantuan Hukum Tondano, Lembaga Bantuan Hukum Amurang, Lembaga Bantuan Hukum Sitaro, Lembaga Bantuan Hukum Sanger, Lembaga Bantuan Hukum Talaud,


Akibat Hukum Jaminan Fidusia yang Belum Didaftarkan
1. Bagaimana akibat hukum jika jaminan fidusia belum didaftarkan, kemudian dijadikan pengikat sebagai peminjaman kredit pada bank? 2. Jika kemudian kredit belum sempat dilunasi, dan debitur meninggal dunia, sedangkan jaminan fidusia belum didaftarkan, apa akibat yang diterima oleh bank sebagai pemberi kredit? 3. Apakah dalam hal ini ahli waris dapat dipertanggung-gugatkan oleh bank, atas utang pewaris pada bank? 
1.      Pada dasarnya, sesuai ketentuan Pasal 14 ayat (3) UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (“UUJF”), jaminan fidusia baru lahir pada tanggal yang sama dengan tanggal dicatatnya jaminan Fidusia dalam Buku Daftar Fidusia dan kreditur akan memperoleh sertifikat jaminan fidusia berirah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.Dengan mendapat sertifikat jaminan fidusia maka kreditur/penerima fidusia serta merta mempunyai hak eksekusi langsung (parate executie), seperti terjadi dalam pinjam meminjam dalam perbankan. Kekuatan hukum sertifikat tersebut sama dengan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Selain itu, untuk pembebanan jaminan fidusia, Pasal 5 ayat (1) UUJF mengamanatkan Pembebanan Benda dengan Jaminan Fidusia dibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia dan merupakan akta Jaminan Fidusia. dalam artikel berjudul Eksekusi Terhadap Benda Objek Perjanjian Fidusia Dengan Akta di Bawah Tangan, saat ini, banyak lembaga pembiayaan (finance) dan bank (bank umum maupun perkreditan) menyelenggarakan pembiayaan bagi konsumen (consumer finance), sewa guna usaha (leasing), anjak piutang (factoring). Mereka umumnya menggunakan tata cara perjanjian yang mengikutkan adanya jaminan fidusia bagi objek benda jaminan fidusia, namun ironisnya tidak dibuat dalam akta notaris dan tidak didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia untuk mendapat sertifikat. Akta semacam itu dapat disebut akta jaminan fidusia di bawah tangan.

Namun, sesuai dengan amanat UUJF, untuk mendapat perlindungan hukum sebagaimana diatur dalam UUJF, pembebanan benda dengan akta jaminan fidusia harus dibuat dengan akta otentik dan dicatatkan dalam Buku Daftar Fidusia. Jika ketentuan tersebut tidak dipenuhi, hak-hak kreditur tidak mendapat perlindungan sebagaimana disebutkan dalam UUJF.

2.      Dalam hal debitur meninggal dunia, sedangkan jaminan fidusia belum didaftarkan, pada dasarnya, terhadap perjanjian yang memberikan penjaminan fidusia  di bawah tangan tidak dapat dilakukan eksekusi langsung. Proses eksekusi harus dilakukan dengan cara mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri melalui proses hukum acara yang normal hingga turunnya putusan pengadilan. Selain itu, bank sebagai kreditur menjadi tidak memiliki hak didahulukan (lihat Pasal 27 ayat [1] UUJF) terhadap kreditur lain dalam pengembalian pinjamannya karena penjaminan secara fidusia dianggap tidak sah jika tidak didaftarkan.

Dalam praktiknya tidak jarang kreditur langsung melakukan eksekusi terhadap barang jaminan fidusia. Mengingat pembiayaan atas barang objek fidusia biasanya tidak full sesuai dengan nilai barang. Atau, debitur sudah melaksanakan kewajiban sebagian dari perjanjian yang dilakukan, sehingga dapat dikatakan bahwa di atas barang tersebut berdiri hak sebagian milik debitur dan sebagian milik kreditur. Jika eksekusi terhadap barang objek fidusia tidak dilakukan melalui badan penilai harga yang resmi atau badan pelelangan umum, tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai Perbuatan Melawan Hukum (PMH) sesuai diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) dan dapat digugat ganti kerugian.

Grace lebih jauh menjelaskan bahwa dalam konsepsi hukum pidana,  eksekusi objek fidusia di bawah tangan (tanpa putusan pengadilan) masuk dalam tindak pidana Pasal 368 KUHPidana jika kreditur melakukan pemaksaan dan ancaman perampasan. Grace menulis bahwa:

Situasi ini dapat terjadi jika kreditur dalam eksekusi melakukan pemaksaan dan mengambil barang secara sepihak, padahal diketahui dalam barang tersebut sebagian atau seluruhnya milik orang lain. Walaupun juga diketahui bahwa sebagian dari barang tersebut adalah milik kreditur yang mau mengeksekusi tetapi tidak didaftarkan dalam di kantor fidusia.

Bahkan apabila debitur mengalihkan benda objek fidusia yang dilakukan di bawah tangan kepada pihak lain tidak dapat dijerat dengan UUJF, karena tidak sah atau legalnya perjanjian jaminan fidusia yang dibuat.  Memang, mungkin saja debitur yang mengalihkan barang objek jaminan fidusia di laporkan atas tuduhan penggelapan sesuai Pasal 372 KUHPidana oleh kreditur. Baik kreditur maupun debitur bisa saling melaporkan karena sebagian dari barang tersebut menjadi milik berdua baik kreditur dan debitur. Dibutuhkan putusan perdata oleh pengadilan negeri setempat untuk mendudukkan porsi masing-masing pemilik barang tersebut untuk kedua belah pihak.” 

3.      Dalam suatu perikatan utang piutang, pada prinsipnya utang tersebut harus dilunasi oleh debitur. Dan apabila debitur kemudian meninggal sebelum dilunasinya utang tersebut, maka utang tersebut dapat diwariskan kepada ahli warisnya. Hal ini berdasarkan pada ketentuan hukum perdata Pasal 833 ayat (1) KUHPerdata. Pasal tersebut menyatakan bahwa para ahli waris, dengan sendirinya karena hukum, mendapat hak milik atas semua barang, semua hak dan semua piutang orang yang meninggal. Bahwa warisan adalah kekayaan yang berupa kompleks aktiva dan pasiva si pewaris yang berpindah kepada para ahli waris.

Walaupun memang, tiada seorang pun diwajibkan untuk menerima warisan yang jatuh ke tangannya (lihat Pasal 1045 KUHPerdata). Dan bagi ahli waris yang menolak warisan, dianggap tidak pernah menjadi ahli waris (lihat Pasal 1058 KUHPerdata). Dalam hal para ahli waris telah bersedia menerima warisan, maka para ahli waris harus ikut memikul pembayaran utang, hibah wasiat dan beban-beban lain, seimbang dengan apa yang diterima masing-masing dari warisan itu (lihat Pasal 1100 KUHPerdata).
  Dengan kata lain, ahli waris dapat digugat oleh pihak bank ketika utang pewaris tidak dilunasi. 

LEMBAGA BANTUAN HUKUM SULAWESI JUTICE HALLO_HUKUM.
No telp Ketua LBH                                         : 0812 4222 6581, 082187279009.
No Telp Posko Minahasa Tenggara               : 0852 5672 2098, 0813 5453 3050,
No Telp Posko Kota Bitung                            : 0823 4730 3345
No telp Posko Kota Makassar                       : 0811 4626 698